Breaking News
Loading...

Random News

  • New Movies
  • Recent Games
  • Tech Review

Tab 1 Top Area

Tech News

Game Reviews

Recent Post

Wednesday, July 17, 2013
no image

Jono 'GBS' Bicara Soal Perjalanannya ke Aceh Hingga Jadi Mualaf

EBOOK ISLAMI GRATIS DISINI

http://images.detik.com/content/2013/07/18/230/gbs3.jpg
Jakarta - Bassis band Gugun Blues Shelter (GBS), Johnathan Amstrong atau biasa disapa Jono menceritakan perjalanan religinya yang membuatnya hingga menjadi seorang mualaf. Sebelumnya, Jono berasal dari keluarga Kristen yang taat, namun Aceh mengubah hidupnya.

Jono mengatakan, beberapa tahun lalu dirinya menginjakkan kaki pertama kalinya di tanah rencong. Di sanalah dirinya langsung berkenalan dengan Islam.

"Karena aku pertama kali ke negara Islam, langsung ke Indonesia, Aceh lagi. Dan, di sana Islam sangat kuat. Aku lihat orang-orang di sana sangat friendly, terus kekeluargaan masih kental," kata Jono yang sudah lumayan fasih berbahasa Indonesia meski terkadang masih sedikit terbata itu, Rabu (17/7/2013) malam.

"Jadi saya semakin penasaran, kok bisa begini ya? Dari situ saya mulai tanya-tanya tentang Islam. Terus dijelasin sama teman-teman. Dari situ saya beli Al Quran berbahasa Inggris, saya pelajari," sambung Jono.

Jono yang asli London-Inggris itu pun semakin mendalami Islam sejak itu. Perjalanan ke Aceh itu sebenarnya tak disengaja, karena ia memang harus transit ke Asia.

Saat transit ke Indonesia itulah akhirnya Jono memilih Aceh sebagai tempat berlabuhnya sejenak. Tak disangka, Aceh memang membuat hidupnya berubah. Setelah pulang ke negara asalnya, Jono pun merindukan Aceh.

Pergolakan batin pun dirasakan semenjak mengenal Islam. Singkat cerita, Jono lantas kembali ke Aceh dan akhirnya bertemu dengan wanita yang menjadi pendampingnya kini, Fauziah.

Jono pun akhirnya menikahi Fauziah dan memeluk Islam. "Dari situ penasaran saya nggak berhenti, baru saya ketemu sama istri. Dia jelasin lebih dalam lagi. Dari situ saya memutuskan untuk menjadi mualaf," kisahnya.

(kmb/mmu) 
Pemain Muslim di Liga Inggris dan Argumen 'Pusat-Pinggiran' dalam Konteks Sepakbola

Pemain Muslim di Liga Inggris dan Argumen 'Pusat-Pinggiran' dalam Konteks Sepakbola

EBOOK ISLAMI GRATIS DISINI
thumbnail
Beberapa hari lalu, menyambut bulan puasa, BBC menayangkan sebuah program menarik: bagaimana pemain muslim perlahan ikut mengubah wajah Liga Primer Inggris.

Data resmi meyebutkan setidaknya 40 pemain di Liga Primer menyebut diri mereka Islam. Masih belum luar biasa dari segi jumlah -- kurang 10 persen dari keseluruhan 540 pemain dari 20 klub yang terdaftar di Liga Primer. Meski sedikit dari segi jumlah, tapi dampaknya tak bisa diabaikan. Demikian kira-kira pesan dokumenter BBC tersebut. 

Contoh pengaruh itu bertebaran. Misalnya, Liverpool hanya menyediakan ayam halal untuk dikonsumsi para pemain di musim latihan, karena baik yang muslim maupun bukan, sama-sama bisa mengonsumsinya; Newcastle menyediakan musola di St James Park; Arsenal memberi waktu luang bagi pemain yang ingin menjalankan sholat.

Tidak terbatas pada tiga klub itu saja tentunya, hampir semua klub yang memiliki pemain muslim memberikan konsesinya masing-masing agar mereka bisa semaksimal mungkin menjalankan kewajiban. Toh prinsipnya bagi klub-klub ini, kalau pemain senang, maka kerja mereka akan maksimal, dan klub juga yang akan meraih keuntungan.

Walau sifatnya masih semi resmi, bahkan ada kursus bagi para calon pelatih untuk memahami ritual seperti puasa dan sholat yang harus dijalani pemain muslim. Tujuannya sederhana, agar potensi konflik bisa dikurangi dan keseimbangan yang mutualistis bisa dicapai.

Bank Barclays sebagai sponsor Liga Primer bahkan tidak lagi memberi sampanye bagi mereka yang dipilih menjadi man of the match. Tidak untuk pemain muslim maupun non-muslim.

Awal sebabnya sederhana. Yaya Toure pernah dengan sopan menolak pemberian sampanye itu dengan mengatakan dirinya muslim dan tidak minum alkohol. Sialnya, pemain sekaliber Yaya seringkali menjadi man of the match. Begitupun dengan beberapa pemain muslim lain. Karenanya diputuskan, untuk tidak mempermalukan kedua belah pihak lebih baik sampanye diganti semacam trofi, karena ternyata pemain non-muslim juga tak keberatan sama sekali dengan pergantian itu.


Bahkan konon perayaan kemenangan di ruang ganti pemain, lengkap dengan semburan sampanye, dilakukan setelah pakaian para pemain muslim disingkirkan terlebih dahulu supaya tidak terkena percikan minuman beralkohol itu.

Dengan banyaknya pesepakbola muslim, para pemain yang dikenal atau dianggap insular -- tak peduli dengan kehidupan lain di luar sepakbola --, menjadi sedikit banyak mengerti apa itu Islam dan hal-hal yang terkait dengan ajaran itu.

Pengaruhnya tidak sebatas di kalangan administrator klub dan liga saja, tetapi juga di kalangan penonton dan suporter. Misalnya pendukung Newcastle punya lagu pujaan khas untuk Demba Ba, sewaktu ia masih bermain di sana, yang mengaitkan kemampuannya mencetak gol dengan bulan Ramadan. Ba dikenal sebagai salah satu pemain yang selalu berpuasa, tak peduli apakah itu hari latihan dan pertandingan. Kalau sebelumnya penggemar Newcastle tidak tahu sama sekali apa itu Islam dan apa yang terjadi selama Ramadan, pemahaman mereka dengan adanya lagu itu tidak akan lagi nol sama sekali.

Anak-anak pendukung Newcastle, serta siapapun yang suka dengan Ba dan Papis Cisse -- yang juga seorang muslim yang taat, banyak meniru perayaan gol mereka dengan bersujud syukur (di atas lapangan). Tentu anak-anak itu tidak paham sama sekali mengapa Ba dan Cisse melakukannya. Tetapi sekali lagi, ada dimensi kehidupan lain yang mulai menyusup tanpa disadari bahkan sejak kanak-kanak.


Apa yang saya tulis di atas sebenarnya tak lebih dari ringkasan dari program dokumenter yang saya lihat itu. Tetapi saya ingin berbagi, bukan karena persoalan Islam, muslim ataupun persoalan kegamaan karena kebetulan bulan Ramadan.

Program dokumenter itu mengingatkan akan sebuah mata kuliah yang pernah saya ikuti nun seperempat abad yang lewat. Sebuah mata kuliah yang membahas hubungan antara apa yang disebut centre (pusat) dengan periphery (pinggiran).

Maafkan kalau terkesan menggurui dan sok ilmiah dalam memahami film dokumenter itu. Tetapi bagi Anda yang belajar imu politik, sosial atau kebudayaan pastilah pernah mendengar persoalan ini. Inti pembahasannya sederhana saja, mengenai bagaimana dalam dunia yang semakin saling terkait ini terjadi sebuah arus balik di mana berbagai ide, pergolakan kehidupan dan kebiasaan yang terjadi di wilayah-wilayah yang disebut pinggiran ikut mempengaruhi dan membentuk tata kehidupan yang ada di kawasan yang disebut pusat-pusat peradaban. Merombak adagium bahwa pusatlah yang selalu mempengaruhi pinggiran.

Di bidang musik, drama, kesusastraan dan filsafat -- yang saya sedikit mengerti karena ketertarikan pribadi -- hal ini sangat jamak terjadi. Tidak karena dirancang (by design), tetapi terjadi secara organik (alami) mungkin karena sifat empat bidang itu yang selalu mencoba melakukan ekspansi, mencari elemen baru, mencari pemahaman yang utuh akan kehidupan.

Anda yang menekuni bidang lain, seperti politik dan ekonomi, pasti juga akan dengan mudah menunjukkan unsur-unsur hubungan pusat dan pinggiran ini.

Di sinilah film dokumenter BBC itu menjadi menyenangkan buat saya. Ia dengan sangat mudah dipahami untuk memberi gambaran aplikasi praktis yang gamblang akan teori hubungan pusat dan pinggiran. Mungkin karena prosesnya bisa kita lihat dengan mata wadak. Perubahan-perubahan terjadi nyata di hadapan mata. Bagaimana kebiasaan dan keyakinan pemain bola muslim (yang tentu saja datang dari pinggiran) ikut membentuk perwajahan pengelolaan persepakbolaan Inggris (pusat).

Di dunia sepakbola persoalan pusat dan pinggiran ini sebenarnya bukanlah hal baru. Tentu saja tidak harus dalam konteks semacam hubungan seperti pemain muslim dan kehidupan mereka di Liga Primer. Tekanannya adalah bahwa interaksi, dialog dan pertukaran ide selalu saja terjadi, dan tidak terlalu rumit untuk dirunut. 

Saya tidak perlu bercerita tentang hubungan Eropa dengan negara-negara Amerika Latin seperti Brasil dan Argentina, misalnya. (Walau banyak yang menganggap Brasil dan Argentina sudah menjadi pusat tersendiri, tetapi kita tahu betapa pemain dari kedua negara ini harus menyeberang dan menaklukkan Eropa kalau ingin dinggap menaklukkan dunia). Sudah banyak sekali pembahasan baik dalam bentuk buku, artikel ataupun film dokumenter mengenai pengaruh dan ide permainan yang datang dari kedua negara ini ke Eropa. Penghormatan akan individualitas, kemerdekaan berpikir (bermain) dan improvisasi menjadi mapan di Eropa, saya kira karena pengaruh yang sangat kuat dari kedua negara Amerika Latin ini.

Afrika belakangan menawarkan dimensi fisik dalam permainan sepakbola di Eropa. Klub-klub sepakbola Eropa menyerap bakat-bakat dari Afrika (ataupun keturunan Afrika di Eropa) dengan anugerah fisik di atas rata-rata. Tidak harus selalu tinggi besar, tetapi terkadang keliatan tubuh yang nyaris sempurna.

Perhatikan bagaimana konsep permainan dengan menggunakan keberadaan seorang destroyer permainan, buldozer, tukang pikul air ataupun istilah semacam menjadi populer, bukan karena sebelumnya tidak ada, tetapi seiring dengan semakin banyaknya pemain keturunan Afrika. Peran itu sekarang tidak harus dimainkan oleh mereka yang berasal dari Afrika, tapi pernah suatu ketika seperti menjadi hak eksklusif mereka. Evolusi juga terjadi dari para pemain Afrika ini, yang kalau dulu lebih sering berada di tengah, belakangan bisa di depan ataupun di jantung pertahanan.

Saya pernah membayangkan bahwa suatu saat, cepat atau lambat, Asia juga akan menyumbangkan argumentasi permainan untuk ditawarkan ke panggung persepakbolaan di pusat (Eropa) ini. Dan itu benar terjadi. Tetapi kalau saya pernah berharap Indonesia sebagai sebuah negara yang besar dan gila bola itu akan menjadi salah satu eksponennya, saya salah total.

Jepang, yang belajar bola jauh sesudah Indonesia, dan Korea yang rupanya mengambil obor dari Asia untuk dibawa ke pusat. Terus terang saya tidak tahu apa yang sebenarnya mereka tawarkan. Mungkin kemampuan untuk memahami kolektivitas permainan. Mungkin kemampuan menempatkan diri dalam sistem permainan apapun yang dimaui pelatih. Mungkin juga ketekunan, atau mungkin pembaca lebih bisa mengerti apa sebenarnya ditawarkan oleh pemain Asia yang di wakili kedua negara itu.

Saya hanya bisa dengan sangat sedih melihat kenyataan, Indonesia menjadi negara pinggiran yanginsignificant (tidak penting). Tidak mampu bersuara, tidak mampu menyumbang gagasan, tidak mampu menyumbang pemain. Padahal sejarah sepakbola di Indonesia ini begitu panjang. Teramat panjang
no image

Indonesia Dibanjiri Klub-Klub Dunia, Buat Apa?

EBOOK ISLAMI GRATIS DISINI
thumbnail
AFP/Bay Ismoyo
Akhir-akhir ini terjadi sebuah fenomena menarik; tim-tim besar dunia seakan lalu-lalang di Jakarta. Timnas Belanda, Arsenal, Liverpool, dan terakhir Chelsea silih berganti menyapa jutaan penggemar mereka masing-masing.


Para penggemar bola pada umumnya dan terutama fans berat negara dan klub-klub tersebut begitu antusias karena dulunya jarang-jarang kedatangan klub papan atas dunia. Wow, ada apa ini? Sebuah fenomena yang patut disyukuri tentunya.



Tapi kalau dicerna lebih mendalam, sebenarnya seberapa bermanfaatnya sihkedatangan tim-tim top dunia tersebut?



Kita mulai dari sisi positifnya terlebih dahulu. Pertama-tama kedatangan tim-tim tersebut tentu saja menggembirakan para penggemar mereka di tanah air yang bejibun jumlahnya. Itu sudah pasti.



Selain itu, adanya pemasukan untuk PSSI adalah hal yang positif. Sudah menjadi rahasia umum bahwa keuangan PSSI tidak sehat. Pemasukan ekstra seperti ini sedikit banyak tentu membantu roda organisasi PSSI, paling tidak bisa dipakai untuk menggaji karyawan dan staf.



Efek positif lainnya adalah adanya kesempatan bagi para pemain kita untuk "menimba ilmu" dan "menambah jam terbang". Tentu saja efek positif ini hanya berlaku apabila pemain Indonesia yang tampil mayoritas berusia muda. Apabila yang tampil adalah "wajah-wajah lama" tentu efek menimba ilmu dan efek menambah jam terbang menjadi not in effect, atau dalam bahasa Prancis "nggak ngefek". Buat apa?



Sudah semestinya kita meniru FAM (PSSI-nya Malaysia) yang kerap menurunkan timnas U-23 saat menghadapi klub-klub dunia. Toh penonton yang datang ke stadion dan pemirsa di hadapan kaca telivisi tidak akan kecewa karena mereka lebih tertarik menonton tim lawan. Karena itu alasan "pesanan sponsor" yang seakan-akan mengharuskan diturunkannya pemain-pemain tua yang memiliki nama tidaklah tepat.



Ketegasan PSSI serta pendekatan dan penjelasan yang tepat kepada sponsor menjadi kunci ngefek tidaknya kunjungan tim-tim besar ini secara teknis pembinaan. 



Tapi sampai disitu sajalah efek pembinaan dari datangnya tim-tim dunia tersebut. Tidak banyak. Tepatnya sedikit sekali unsur pembinaan yang bisa didaptkan Indonesia sebagai tuan rumah. Dan itupun KALAU yang dimainkan adalah pemain-pemain muda yang kedepannya akan terus membela merah-putih. Kalau yang main pemain tua atau pemain muda namun kedepannya tidak dipanggil kembali mubasirlah pengalaman yang didapat. Buat apa?



By the way, pertanyaan "buat apa?" di atas sengaja diulang.



Bukannya saya tidak mensyukuri kedatangan klub-klub dunia tersebut. Dari sisi entertainment, sebagai penggemar bola, tentu saya sangat mensyukuri.



Tapi saya khawatir. Terus terang saya khawatir publik dan pengurus sepakbola Indonesia terlena dengan banjirnya Jakarta dengan tim-tim kelas dunia. Saya kuatir event-event besar ini dipakai segelintir orang untuk mencari nama dan mengumandangkan dengan hebohnya bahwa kedatangan tim-tim besar dunia adalah bagian dari kerja keras mereka "membina" sepakbola Indonesia.



My friends, membina sepakbola bukanlah dengan mendatangkan tim-tim dunia. Bukan juga dengan mendatangkan Diego Maradona. Membina sepakbola Indonesia sejatinya dilakukan dengan cara-cara yang diam, tidak heboh, bahkan mungkin bisa disebut garing, seperti membuat akademi kepelatihan sehingga anak-anak di seluruh Indonesia bisa mendapatkan sesi-sesi latihan yang jauh lebih berkualitas dari sekarang dikarenakan pelatih-pelatih mereka terdidik --dan lebih daripada itu, terdidik secara berkualitas.



Ketegasan sikap, adil dalam bersikap, membina dalam bersikap dan memiliki visi dibelakang setiap sikap itulah pembina sepak bola yang sejati. Masyarakat bola Indonesia menginginkan dan mengidam-idamkan serta mengharap-harapkan (apalagi, ya?) pengurus sejati dan bukannya penguras.



Mari kita nikmati kedatangan tim-tim dunia sebagai entertainment yang layak untuk disyukuri. Karena timing kedatangan klub-klub papan atas EPL tersebut sangat tepat, yakni di saat pramusim, saya yakin gairah bertanding para penggawa di lapangan akan besar sehingga kualitas pertandingan akan tinggi dan mampu memuaskan kita semua.



Mari kita juga berharap bahwa pengalaman yang didapatkan para pemain Indonesia tidak mubazir, namun bisa digunakan di masa-masa mendatang di saat membela 'Merah-Putih'.



Yang terutama, harapan saya "pembinaan" sepakbola Indonesia tidak sampai di situ saja. Semoga proyek-proyek yang menjadi tulang punggung pembinaan berkualitas lekas bertransformasi dari alam kata-kata (istilah pribadi saya adalah "dunia bla-bla-bla") ke dunia nyata.



Kalau tidak, buat apa?



Salor.




===



* Penulis adalah pelatih, pengamat, pecinta sepakbola
* Akun twitter: @coachtimo
* Website: www.coachtimo.org



*Foto: Indonesia Selection saat dikalahkan Valencia 0-5 pada Agustus 2012 (AFP/Bay Ismoyo)