Pertandingan itu memang bukan pertandingan final. Bukan pula pertandingan dengan rivalitas gila atau semacamnya. Tapi arti kemenangan malam itu terasa besar dan kami semua menyaksikannya.
Jam telah menunjukkan pukul 11.58 malam ketika kereta yang saya tumpangi terhenti di stasiun Chan Sow Lin. Ada hujan turun di luar stasiun, tapi tidak terlalu deras. Stasiun itu sudah sepi, hanya ada beberapa orang yang tengah menunggu kereta terakhir menuju Ampang di jalur sebaliknya, saya, teman-teman saya, dan beberapa suporter Malaysia.
Wajah para suporter Malaysia itu sumringah. Mereka seperti tak bermasalah diturunkan di sebuah stasiun yang sepi lantaran kereta yang kami naiki tiba-tiba berhenti beroperasi. Kereta pengganti akan segera tiba, katanya. Tapi, itu seperti bukan pengumuman penting buat mereka. Ada yang lebih penting hari itu: Malaysia menang 4-1 atas Laos.
Jika Anda adalah suporter sepakbola, tidak ada yang lebih menyenangkan dari sebuah kemenangan ketika tim Anda tengah dirundung hasil buruk. Malaysia seperti itu. Saking buruknya, pelatih tim nasional mereka dihujat, nyanyian yang harusnya jadi dukungan, berubah aroma menjadi nyinyir. Tapi, malam itu akhirnya suporter Malaysia bersorak. Tim mereka akhirnya menang juga setelah melewati serangkaian pertandingan yang tak berakhir menyenangkan.
Hujan yang tidak terlalu deras itu belum juga berhenti, dan tak beberapa lama kereta pengganti itu akhirnya tiba juga. Kami melanjutkan perjalanan, meninggalkan pertandingan yang kami saksikan beberapa jam sebelumnya. Pertandingan yang juga diguyur oleh hujan.
****
Ada mendung menggelayut di Bukit Jalil sore itu dan ada sekelompok suporter dari Indonesia menyanyikan "Bagimu Negeri" di bawahnya. Mereka mudah dikenali dengan atribut serba merah plus berbagai spanduk bertuliskan "The Maczman", "Viking", ataupun "Aremania". Jumlah mereka ratusan dan kebanyakan baru tiba di Kuala Lumpur. Hari itu, mereka datang bukan untuk mendukung klub masing-masing.
Ada ratusan suporter hari itu dan kelak mereka tidak akan berhenti bernyanyi di dalam stadion. Kelak dukungan dari mereka akan membuat Nil Maizar mengajak anak-anak buahnya berlari ke tribun selatan untuk membungkuk, memberi salam, dan berterima kasih kepada mereka. Kelak, mungkin, mereka akan berpesta -- atau minimal pulang dengan wajah sumringah seperti pendukung-pendukung Malaysia itu -- sepulang dari stadion. Saya berasumsi demikian karena Indonesia, tim yang hari itu mereka dukung, menang 1-0 atas Singapura.
Pelatih Singapura Radojko Avramovic mengatakan, kemenangan Indonesia berbau keberuntungan. Pelatih asal Serbia itu menyebut Indonesia bermain untuk mendapatkan satu poin, namun pada akhirnya malah mendapatkan tiga poin. Avramovic bebas berpendapat demikian. Tapi, cobalah ajukan pernyataan kepada ini kepada Irfan Bachdim, maka ia pasti akan membantahnya.
"Kami bermain lebih baik. Kami bertarung dengan baik. Jadi, mengapa kami disebut beruntung?" kata Irfan di hadapan para wartawan. Malam itu Indonesia memang bermain apik. M. Taufiq rajin menahan bola di lini tengah, seraya melihat ke daerah lain dan membagikannya ke rekan-rekannya. Fachruddin tampil solid di lini belakang. Sementara Andik Vermansah masuk di saat yang tepat. Kecepatannya, disebut Irfan, mematikan Singapura yang ketika itu sudah kelelahan.
Irfan begitu lugas dan antusias menjawab pertanyaan dari wartawan-wartawan di ruangan itu. Di sebelahnya, ada Nil Maizar. Dia baru saja mengatakan bahwa dirinya bangga dengan perjuangan yang diperlihatkan pemain-pemainnya. Ada raut puas tersirat di wajah keduanya.
Nil, yang sepanjang pertandingan tampak tidak berhenti memberi instruksi, dan meninggalkan bangkunya, tahu arti penting dari kemenangan itu. Timnya sudah lama mendapatkan sorotan dan stigma negatif, yang uniknya kebanyakan datang dari orang-orang di negeri sendiri. Usai Andik mencetak gol, ia tampak diam, sesekali menengadahkan kepalanya ke atas. Ia berdoa.
Momen Andik mencetak gol itu sendiri adalah momen penuh kelegaan yang luar biasa. Bagaimana tidak, sebelumnya Indonesia punya beberapa peluang, yang semuanya mentah lantaran penyelesaian akhir yang kurang baik atau pun ditepis kiper Mohamad Izwan Mahbud. Sementara di sisi lain, sundulan Aleksandar Duric membentur tiang, lalu Khairul Amri dinilai melakukan diving dan bukannya Wahyu Wijiastanto yang melakukan pelanggaran. Imbasnya Singapura tidak mendapatkan penalti dan justru Amri yang mendapatkan kartu kuning.
Keputusan wasit atas insiden yang disebut terakhir itu, plus kartu merah untuk Muhammad Irwan Shah, kelak akan membuat Avramovic protes dan mengaku kecewa kepada kepemimpinan wasit. Namun, bagi Indonesia dan pendukungnya yang menonton malam itu, tak ada kejadian yang lebih penting selain gol yang dicetak Andik.
Tendangan Andik melengkung ke arah tiang jauh, melewati jangkauan Izwan. Gol itu disebut indah oleh Taufiq, sahabatnya sendiri, namun Andik dengan enteng hanya menyebutnya sebagai sebuah kebetulan.
Setelah kerap dianggap sebagai tim kelas dua dan tidak diunggulkan, juga ditahan imbang oleh Laos, siapa sangka Indonesia justru bisa mengubur kutukan tak pernah menang atas Singapura lewat gol tersebut. Suporter yang tak berhenti bernyanyi dan jumlahnya hanya ratusan itu meledak. Tak terkecuali orang-orang Indonesia lain yang bukan suporter dan menyaksikan gol itu.
Saya tidak tahu apa jadinya jika saya pulang dengan kereta yang berbeda, dengan kereta ditumpangi oleh suporter-suporter Indonesia itu. Mungkin saya akan menyaksikan pemandangan berbeda. Mungkin saya akan melihat wajah-wajah sumringah mereka, dan bukannya suporter Malaysia, dan menyanyikan chant-chant atau nyanyian entah apalah itu. Sebisa mungkin malam itu mungkin akan mereka nikmati. Indonesia memang belum mendapat apa-apa, lolos pun belum, tapi kemenangan sekecil apa pun memang layak untuk dinikmati.
****
Kereta pengganti itu kemudian membawa saya sampai ke stasiun dekat tempat saya menginap. Saya kemudian bertemu dengan rekan saya, Rachman Haryanto, fotografer redaksi kami. Hujan yang tidak terlalu deras itu masih mengguyur ketika dia menceritakan momen gol Andik versi dirinya sendiri. Kebetulan, dia berada paling dekat dari gawang ketika gol itu terjadi.
"Gue udah feeling itu bakal jadi gol. Makanya nggak pergi ke mana-mana buat ambil gambarnya. Kemarin 'kan sempat lihat dia latihan sendirian di pojok kepisah sama teman-temannya, latihan tendangan bebas sama pelatihnya. Makanya, yakin itu pasti bakal jadi gol," ucap partner saya itu.
Sehari sebelum pertandingan, kami memang menyaksikan Andik berlatih tendangan bebas di bawah arahan asisten pelatih timnas, Fabio Oliveira. Siapa sangka, momen yang kami saksikan sebentar itu justru memberikan ide buat Rachman.
Ia kemudian menyaksikan dan mengabadikan 10 orang pemain Indonesia maju ke depan gawang untuk merayakan gol Andik, sementara Andik-nya sendiri menari sebelum dirubung rekan-rekannya itu. Foto hasil jepretannya begitu sederhana, namun saya pribadi senang melihat momen 10 orang pemain berbaur merayakan gol yang sudah mereka tunggu-tunggu itu. Ada cipratan spirit tim tidak tertulis di foto itu.
Cerita-cerita dari kemenangan di Bukit Jalil semalam mungkin bisa lebih beragam lagi, tergantung siapa yang menuturkan dan menikmatinya. Suporter Indonesia menyaksikannya dengan perasaan puas, meski tahu kemenangan tersebut tak mengantarkan Indonesia ke mana-mana, kecuali memperlebar kans lolos dari fase grup. Irfan sendiri menyatakan, setelah ini Indonesia akan kembali ke realita: mereka belum lolos dan masih ada Malaysia untuk dilawan. Mungkin, sehabis ini, yang bakal jadi pembicaraan bukanlah gol Andik lagi, tapi hitung-hitungan poin supaya Indonesia lolos.
Tapi, menikmati kemenangan memang bukan hal yang salah. Maka, layaklah menikmati kemenangan itu selagi bisa.