Psikologi Humanistik dan tasawuf
Psikologi dan tasawuf sama-sama membicarakan unsur-unsur manusia
yang menjadi hakikat eksistensi diri. Drive, karakter dan locus spiritual juga
menjadi kajian keduanya. Meski demikian, satu hal yang tak terbantah,
tasawuf tidak sekedar “meraba” sisi luar
dan agak dalam diri manusia.
Sebagai missal,
jika dalam psikologi humanistic pengembangan pribadi untuk menjadi self
actualized people ditandai dengan prilaku yang baik dan lurus serta memilki
pengalaman peak experience. Tidak demikian dengan tasawuf, dalam tasawuf untuk
menjadi pribadi insane kamil dicirikan tidak saja memiliki pengalaman
trasendental dan akhlak terpuji tetapi juga mencerminkan akhlak citra ilahi.
Benar kedua
pandangan diatas sama-sama menganggap pengembangan pribadi merupakan tujuan
fundamental, akan tetapi psikologi humanistik tertuju pada pengembangan
pribadi, pada potensi yang didasari oleh kebutuhan dasar hierarkis. Sebaliknya,
ilmu tasawuf menembus potensi batiniah. Pendek kata, pengembangan pribadi pada
psikologi humanistic sebatas dimensi eksoteris, sementara ilmu tasawuf penekanannya pada dimensi esoteric.
Fakta inikah yang
kemudian membuat Maslow sebelum wafatnya (ujug-ujug) mencantumkan satu
kubutuhan dasar manusia lagi yang diistilahinya dengan transpersonal?
Wallahua’lam! Yang pasti rani memiliki jawaban pertanyaan yang sedikit
“menggelitik” itu. Malah dengan tegas rani menilai bahwa Psikologi Huamnistik,
tak ubahnya seperti ilmu psikologi modern lainnya, telah gagal “mengawal”
masyarakat modern kepada kehidupan yang lebih “fresh” dan “soft”.
Meski demikian,
ibarat dalam sebuah kelompok orkestra, rani bak seorang dirigen yang mengorkestrasikan agar sebuah
tampilan berpadu-padan, selaras, apik terlihat mata dan nyaman diterima
hati. Rani mampu mempertemukan “titik pandang” psikologi dengan tasawuf dalam
mengatasi problem kejiwaan manusia modern. “kekurang mampuan psikologi dalam menjawab persoalan hidup inilah yang
menyebabkan saya berfikir akan perlunya metode pengembangan pribadi yang
holistik, demi melahirkan sosok pribadi humanis yang sufistik.”
Maslow
memperkenalkan dengan istilah transpersonal yang diidentikkannya dengan realisasi
akan kebutuhan transendensi diri. Dan sebenarnya diantara kebutuhan akan
aktualisasi diri, sebenarnya terdapat meta-kebutuhan (meta-needs) yang
diistilahkan sebagai ebutuhan aakan kebermaknaan, kebutuhan luhur nilai-nilai
insaniah (being valued), seperti kebutuhan memilki kesempurnaan, keindahan,
keunikan, kebenaran atau kebahagiaan.
Itulah sedikit
hubungan antara Psikologi Humanistik dan
tasawuf yang telah kami uraikan sesuai dengan yang terdapat dalam majalah Cahaya
Sufi. Bagi pembaca yang ingin member saran dan komentar silahkan ditautkan
dalam kotak kritik dan saran di bawah ini.
peak experiance itu apa yaaa?? mampir jg di blog sya yaa.. bnyk artikel psikologi juga hehe
ReplyDeletepeak expriance ap ya gan artinya??
ReplyDeleteTERIMA KASIH ATAS ILMUNYA
ReplyDeletehttp://http%3A%2F%2Fblog.binadarma.ac.id%2Firman_effendy.wordpress.com