Pagi ini sungguh unik bagi saya. Berawal dari iseng memilih saluran radio ternyata berujung pada wawancara bersama Rustono. Seketika membuncahkan rasa bangga luar biasa terhadap tempe. Saya baru kali ini mengenal sosok Rustono padahal beliau adalah Raja Tempe di Jepang. Tidak berlebihan memang dan ternyata sosoknya pernah dituliskan dengan lengkap di Kompas.
Tempe, nikmatnya tiada terucapkan (Wikipedia)
Siaran radio ini membuat saya mengerti keberadaan terkini Rustono sebagai pengusaha tempe buatan Indonesia di Jepang. Lelaki yang menikah dengan wanita Jepang ini memulai bisnis tempe bukan tanpa halangan. Pertama, Rustono harus menimba ilmu dan mengelilingi lebih dari 60 pembuat tempe di seluruh Jawa hanya untuk belajar cara terbaik menghasilkan tempe terbaik. Kedua, Rustono harus berurusan dengan birokrasi perizinan makanan yang tidak mudah di Jepang.
Rustono asli Grobogan (Kompas.com)
Hasilnya, kini Rustono mampu memasarkan lebih dari 16 ribu bungkus tempe dalam dua hari berukuran 200 gram. Bukan hanya itu, kini Rustono bahkan sudah mempunyai dua hektar kebun kedelai yang dikelola oleh warga Jepang. Yah, Rustono juga mengajarkan ilmu penanaman kedelai yang baik untuk menjadi tempe yang baik pula. Nyatanya, Jepang yang mempunyai empat musim ternyata mampu menghasilkan kedelai yang baik. Tidak heran ketika Rustono menepis anggapan pemerintah yang mengatakan iklim di Indonesia tidak sesuai.
“Dicoba dulu dengan baik baru ngomong. Toh saya juga begitu. Langsung saya praktekkan dan ternyata Jepang saja bisa membuatnya”
Hebatnya lagi, Rustono dengan bangga memasang label tempe buatan Indonesia sehingga kini setiap orang Jepang yang memakan tempe akan selalu teringat Indonesia. Kalau tempe ya pasti Indonesia bukan lainnya.
Ketika wawancara menyinggung masalah Jepang yang mematenkan tempe, dengan ringan Rustono menjawab “Ya gak mungkin. Yang dipatenkan burger tempenya. Bukan tempenya” . Kenyataanya memang sudah ada 19 paten atas tempe. Sejumlah 13 milik Amerika yang terdiri dari 8 milik Z-L Limited Partnership, 2 milik Gyorgy tentang minyak tempe, 2 milik Pfaff tentang alat inkubator dan 1 milik Yueh tentang makanan ringan dari tempe. Sedangkan 6 sisanya milik Jepang meliputi 4 paten tentang pembuatan tempe, 1 paten antioksidan, 1 paten kosmetik berbahan temp. Ada juga paten lain untuk Jepang yang disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue pada 10 Juli 1986. Tempeh tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Namun…semua kebanggaan saya itu langsung sirna ketika siang harinya saya menerima bbm yang isinya “Malaysia Mengklaim Tempe”. Saya geram seketika. Masih jelas dalam ingatan ketika beberapa aset budaya Indonesia diklaim berasal dari Malaysia. Ini saya ingatkan kembali: Reog Ponorogo (2007), lagu Rasa Sayange (2008), Batik (2008), tari Pendet (2009), alat musik Angklung (2010), beras Adan Krayan dari Nunukan Kaltim, dan tari Tor-Tor dan Gordang Sambilan (2011).
Masih belum cukup dan sekarang tempe? Mengapa harus tempe sih? Saya tidak habis pikir. Karena tidak ingin percaya hoax begitu saja, saya mencari semua kebenaran informasi tersebut. Bahkan hingga tulisan ini diturunkan, berita itu hanya hoax dan saya masih ingin memberikan informasi lebih banyak lagi tentang tempe. Yah…saya mendadak jatuh cinta dengan tempe dan ingin tahu kisah si tempe. Tidak ada kedelai, tidak ada tempe.
Mau tidak mau saya mencari sejarah si kedelai juga. Maklum, saya gregetan ketika mendengar berita bahwa Indonesia malah mengeskpor kedelai hijau yang diminati Jepang karena rasanya gurih sementara kebutuhan kedelai dalam negeri sedang membutuhkan bantuan. Ironis. Tapi beruntunglah karena jika tanpa sentilan itu maka tulisan ini tidak akan pernah ada.
Pengklaiman Malaysia akan tempe masih belum dapat dipercaya sepenuhnya karena memang di Malaysia tempe sudah dikenal lama hanya beda nama saja, TEMPEH. Ah, apapun itu beda satu huruf H tapi cara pembuatan dan paketannya sama saja dengan tempe. Lagipula isu ini seperti sengaja dinaikkan lagi ketika isu kedelai merebak.
Saya penasaran sebenarnya berapa jumlah pasokan kedelai yang dihasilkan di negeri sendiri hingga masih membutuhkan impor kedelai Amerika yang notabene memang masih menjadi pemasok kedelai nomer wahid di dunia. Harusnya kan kekeringan di Amerika yang mengakibatkan lonjakan harga kedelai hingga 8.000/kilo ini menjadi cambukan untuk pemerintah supaya mengupayakan petani lokal.
Usut punya usut setelah membaca berbagai literatur, ternyata masalah kedelai dan tempe ini sudah ada sejak tahun 1975an dimana kita sudah impor dari Amerika. Padahal tempe tercatat muncul sejak abad ke-16 dan mulai dituliskan 1875an. Bahkan puncaknya di tahun 1981 hampir 30 persen kebutuhan kedelai mencomot dari bos Obama. Kembali meroket tahun 1983 dimana 94% kebutuhan kedelai dunia memang disuplai Amerika. Padahal secara kebutuhan memang kedelai terus meningkat terbukti kebutuhannya pada tahun 1981 mencapai 360.000 ton menjadi 560.000 ton pada 1983. Tapi jangan tanya karena lagi-lagi masih impor sebagian besar dari Amerika.
Mengapa demikian padahal kedelai tumbuh subur di tanah Indonesia dimana cuaca panas dan curah hujan 1500-2100 mm tersedia. Bahkan dahulu petani banyak yang menggunakan sistem satu ladang dimana kedelai akan ditanam pada musim kemarau sekitar April hingga Juli, setelah panen padi. Peningkatan dengan cara memperluas area penanaman hingga tercipta transmigrasi juga telah dilakukan kala itu namun masih saja belum dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Tapi ternyata nyaris 26 tahun yang lalu, selalu saja harga kedelai impor lebih murah terbukti Amerika menjual hanya Rp. 280,- sementara pasaran dalam negeri Rp. 450,- dan akhirnya hal itu masih terus saja berlangsung hingga saat ini. Jadi apa sebenarnya yang harus diperbaiki kalau nyatanya selama 26 tahun ini tidak banyak perubahan signifikan terhadap kedelai.
Imbasnya apa? Tentu saja kreativitas produk olahan kedelai akan melemah seperti tahu, tempe, kecap, tauco, dan lain-lain. Padahal membuat tempe bukan hanya masalah kedelai melainkan juga fermentasi ragi dari bakteri Rhizopus. Bagaimana tidak, harus direndam 12 jam lamanya lalu direbus 2 jam dan setelahnya masih dibungkus untuk didiamkan selama 2 hari. Betapa luar biasa panjang perjalanan bibit kedelai hingga menjadi tempe.
Nah…seharian saya menuliskan ini ternyata Tuhan memberikan penutup yang indah. Seorang pakar yang sudah 36 tahun menangani masalah pertanian di Departemen Pertanian hingga menjadi konsultan di berbagai negara mendadak muncul di hadapan saya sebagai pasien. Awalnya jelas saya tidak tahu kalau beliau sang pakar. Tapi karena tidak ada pasien lain yang mengantri maka saya pun iseng bertanya tentang isu kedelai. Ternyata…malah di depan saya sang pakar.
Yah…tepat tiga jam yang lalu saya menghabiskan waktu sejam lamanya berbincang masalah tempe. Memang dunia akan berjalan sesuai pikiran positif kita dan benar saja, saya hari ini memang mempelajari dunia tempe. Segala hal yang sudah saya tuliskan di atas rasanya konyol sekali ketika berbincang dengan ahlinya.
“Isu klaim tempe dari Malaysia itu sudah basi. Sejak lama ada dan sudah terlalu banyak kepentingan di dalamnya”
“Sejak berdiri, Indonesia memang selalu impor kedelai. Bagaimana tidak, memang tidak bisa memaksakan petani menghasilkan kedelai dalam jumlah banyak lantaran ini daerah tropis. Kedelai itu genetic diversity yang membutuhkan sinar matahari bagus dan itu ada di daerah subtropis seperti Amerika. Ini bukan masalah panasnya matahari tapi pada jumlah paparan sinar. Bukan HITnya tapi LIGHTnya dan Indonesia tidak punya itu. Buktinya, dengan waktu sama-sama tiga bulan, satu hektar di Amerika bisa menghasilkan sampai 3 ton kedelai sementara di tempat kita hanya 1,5 ton saja”
Sampai sini saya hanya bisa melongo, seharian mencari data tentang kedelai dan segala macam di dalamnya ternyata belum ada sepersekian kecilnya dari pengalaman orang yang ahli di bidangnya.
“Dan sudah suatu kepastian, ke depan, bahkan semua bahan pangan kita akan impor dari asing. Ini jelas pengaruh dari lonjakan penduduk Indonesia yang mengerikan karena kegagalan KB”
Jadi sebenarnya masalahnya dimana Om sampai 36 tahun Om berada di dalam sistem tapi tidak bisa mengubah sistem? Akhirnya saya gatal untuk bertanya kenapa pertanian di Indonesia tidak kunjung memenuhi kebutuhan pangan sendiri.
“Attitude. Itu saja. Sejak dulu tidak ada pemimpin yang benar-benar mengurus masalah pertanian sampai tuntas. Hanya setengah-setengah saja dan akhirnya attitude pada masyarakat semakin sulit diubah pula. Yang masyarakat mau kan yang murah meriah, kalau itu disediakan dari luar yah lebih baik impor”
Attitude? Sesederhana itukah yang dibutuhkan bangsa saya untuk bangkit? Ah… saya jadi mengharu biru. Ini mengingatkan saya akan pengalaman kurang enak alias menyebalkan saat mendapat kesempatan belajar di Swedia 2007. Saya sedang ngidam sambel uleg Indonesia dan berhasil menemukannya setelah menjelajahi sebuah pasar Asia. Tapi saya malah terkejut sendiri menemukan kalengan sambel uleg itu. Yah tertulis Sambel OELEK tapi pembuatnya Belanda. Saya sampai bingung karena miris meringis bersamaan.
sambal oelek yang bikin haru biru sesek (sambal-oelek.com)
Kapan ya negara saya yang super gedhe dan punya tanah trilyunan hektar dengan hasil bumi luar biasa serta hasil laut sempurna ini benar-benar dikelola oleh orang yang tepat untuk kesejahteraan seluruh rakyat bukan hanya segelintir. Masa hanya menunggu bangsa asing datang dan sebagai tuan rumah diam saja ketika hanya menerima sepuluh persennya saja.
Apapun yang terjadi di negeri ini, semakin banyak tanah yang saya pijak, semakin banyak orang yang saya temui, semakin saya cinta ke Indonesia. Indonesia adalah negara luar biasa bahkan saking luar biasana hanya di sini anda bisa makan sekali pun tidak pegang uang. Itu karena Indonesa adalah bangsa yang sangat ramah tamah dan tidak pelit, menghargai tamu lebih dari diri sendiri.
Kreasi olahan sendiri dari tempe tepat dua hari yg lalu sblm menghilang di pasaran (Dok Pribadi)
Hidup Indonesia
I Love You Indonesia
(ILUI)