Breaking News
Loading...
Wednesday, August 1, 2012

Tangan Asing di Rohingya: Meninjau Kembali Akar Konflik Rohingya

stop pebantaian muslim Rohingya

Kasus kekerasan yang terjadi di Rohingya telah banyak menuai perhatian serta kecaman publik internasional terhadap pemerintah Myanmar. Di Indonesia sendiri, simpati, empati maupun dukungan terhadap etnis Rohingya terus mengalir tanpa henti. Meski demikian, tak jarang di antara kita yang tidak mengetahui akar konflik Rohingya yang sebenarnya. Sehingga tak jarang debat- pun menyeruak di berbagai media online.

Saya mencatat terdapat banyak pandangan mengenai akar konflik di Mynmar yang melibatkan etnis Rohingya. Dan kesemuanya hampir menunjuk kepada masalah etnis atau agama sebagai sumber konflik yang utama. Tentu saja pendapat ini tak salah seluruhnya dan juga tak benar sepenuhnya, sehingga membutuhkan penelusuran yang lebih mendalam.

Jauh sebelum konflik Rohingya pada 2012 ini menyita perhatian dunia, sebenarnya etnis Rohingya telah ditindas selama puluhan tahun, baik oleh negara maupun etnis mayoritas di Myanmar, yang kebetulan beragama Buddha. Heru Susetyo, misalnya, pada wawancara dengan media online Hidayatullah. com, tertanggal 25 Juli 2012, bahwa sejak sebelum Burma merdeka, tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh. Baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma.

Kemudian kekerasan terhadap etnis Rohingya berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang sering kali dilakukan sejak tahun 1950-an. Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. Jadi ini adalah state violence,di mana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembantaian etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non Muslim.

Heru Susetyo juga menegaskan bahwa sejauh data-data yang ia miliki, konflik di Rohingya selalu vertikal. Tapi menjadi horizontal karena ada-tokoh yang memprovokasi. Heru menuding media, pemerintah, dan agitasi dari tokoh-tokoh yang tidak bertanggung jawab adalah pihak-pihak yang selama ini memprovokasi sehingga timbul kekerasan seperti yang kemarin.

Pandangan yang lebih jauh diungkapkan oleh Hendrajit, Direktur Global Future Institute Jakarta. Hendrajit menolak bila konflik Rohingya dikatakan sebagai konflik antar agama dan sebagai bentuk “genosida”, dalam hal ini yaitu “muslim cleansing”. Hendarjit lebih cenderung kepada adanya tangan-tangan asing yang bermain pada konflik di Rohingya. Hendarjit berpendapat bahwa konflik di Rohingya sebagai pertarungan soal minyak dan gas bumi.

“Pada tahun 2005, perusahaan gas Cina menandatangani kontrak gas dengan pemerintah Myanmar untuk mengelola eksplorasi minyak. Kita harus lihat, sebagaimana kasus yang terjadi di Indonesia seperti di Sampang, Mesuji dan lainnya yang menunjukkan bahwa konflik-konflik horizontal menandakan ada sesuatu yang yang diincar dari sisi geopolitik. Yang menarik dari sisi rezim militer di Myanmar dari era Ne Win hingga sekarang ini, ternyata melibatkan perusahaan asing semacam Chevron AS maupun Total Perancis, padahal kedua negara ini kan di permukaan mengangkat isu hak asasi manusia. Jelas ada pertarungan bisnis yang bermain melalui pintu belakang dari rezim militer Myanmar.” Demikian pendapat Hendarjit.

Pendapat senada juga diungkapkan oleh Jusman Dalle (Humas KAMMI Pusat). Seperti dikutip dari situs resmi KAMMI, Jusman Dalle mengungkapkan kecurigaan adanya pihak asing yang bermain di dalam konflik Rohingya. Dan ini akar masalah sebenarnya. Karenanya, Jusman Dalle menegaskan bahwa; tindakan tidak manusiawi terhadap etnis Rohingya tidaklah berlatar belakang etnis dan agama seperti yang digembar-gemborkan selama ini, namun lebih karena adanya kepentingan ekonomi. Bahkan tanpa sadar, rakyat Myanmar justru menjadi korban, diperalat oleh kepentingan hegemoni ekonomi China.

Alhasil, terlepas dari hulu dan hilir masalah Rohingya, secara garis besar kita harus melihat kasus Rohingya sebagai kejahatan kemanusian yang dilakukan oleh rezim junta militer Myanmar. Tak peduli anda beragama atau bersuku apa, yang dizalimi beragama, bersuku atau berbangsa apa, kita sebagai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi “Kemanusian Yang Adil Dan Beradab”, wajib menyatukan suara dan tekad untuk melawan segala bentuk kekerasan di Myanmar terhadap etnis Rohingya.

Dan kita bisa memulainya dari hal-hal kecil, seperti menulis artikel sebagai bentuk simpati terhadap etnis Rohingya, menyumbangkan harta atau pakaian bekas kepada berbagai LSM untuk disalurkan kepada para pengungsi etnis Rohingya, bahkan -dalam skala kecil- mendoakan agar penindasan terhadap etnis Rohingya segera berakhir dan diketemukan jalan keluar yang terbaik, mengingat etnis ini sedari dulu telah ditetapkan sebagai “ilegal citizen” oleh pemerintah Myanmar.

Jadi, tak perlu bagi kita untuk melebarkan konflik ini dengan cara-cara yang tak bijak, seperti menutup Vihara atau mencaci-maki umat Buddha di Indonesia. Walau harapan saya agar Walubi, sebagai perwakilan Buddha di Indonesia mendesak Myanmar agar membereskan serta menghentikan konflik dan penindasan terhadap etnis Rohingya.

Salam Anti SARA.

0 comments:

Post a Comment

PEDOMAN KOMENTAR
Ayo berpartisipasi membangun budaya berkomentar yang baik. Kolom komentar tersedia untuk diskusi, berbagi ide dan pengetahuan. Hargai pembaca lain dengan berbahasa yang baik dalam berekspresi. Setialah pada topik. Jangan menyerang atau menebar nuansa kebencian terhadap suku, agama, ras, atau golongan tertentu.

Pikirlah baik-baik sebelum mengirim komentar.